JATIMTIMES - Ada satu kisah lama yang terus bergetar di ruang sejarah Arab: cerita tentang kaum Saba, leluhur jauh dari bangsa yang kelak dikenal sebagai kaum Anshar di Madinah. Cerita mereka bukan sekadar catatan tahun lampau; ia adalah potret bagaimana kelengahan terhadap nikmat bisa mengubah peradaban yang makmur menjadi reruntuhan yang ditinggal banjir besar.
Kaum Anshar, yang di kemudian hari menjadi penolong Nabi Muhammad SAW saat berhijrah ke Madinah, berakar dari suku Aslam, cabang Khazraj dan Aus, yang berasal dari rumpun Gassan di Yaman. Mereka bermigrasi ke Yasrib setelah negeri asalnya luluh lantak oleh bencana yang digambarkan Al-Qur’an sebagai sail al-‘arim, banjir raksasa yang menghancurkan kemakmuran Saba.
Baca Juga : RW 04 Kelurahan Klampok Raih Proklim Lestari Nasional, Pemkot Blitar Mantapkan Komitmen Kota Hijau
Nama Gassan sendiri merujuk pada sebuah mata air di dekat Al-Musyallal. Hasan bin Tsabit ra pernah memasukkannya ke dalam bait syair yang menegaskan asal-usul kaumnya: “Jika engkau bertanya tentang kami, kami adalah keturunan Azd; dan air Gassan adalah tempat leluhur kami.” Perjalanan panjang itu bukan sekadar perpindahan tempat tinggal, tetapi juga titik awal yang kelak melahirkan kaum Anshar, komunitas yang setia dan menerima Nabi SAW dengan tangan terbuka.
Ibnu Katsir, ketika menafsirkan QS Saba ayat 15–17, menggambarkan kehidupan Saba sebagai negeri yang dulu penuh panen, subur, dan makmur. Para rasul telah datang, mengajak mereka bersyukur, mengesakan Allah, dan tidak terlena oleh nikmat yang melimpah. Namun ajakan itu justru diabaikan. Mereka berpaling hingga akhirnya azab turun.
Air bah besar menerjang, menyapu dua kebun yang dulu menjadi simbol kemakmuran mereka, dan menggantinya dengan kebun-kebun berisi tanaman pahit, pohon asl, dan sedikit sidr. Ayat itu menegaskan: “Makanlah dari rezeki Tuhanmu dan bersyukurlah… tetapi mereka berpaling, maka Kami kirimkan kepada mereka banjir besar.”
Dalam satu kesempatan, ada seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah SAW, apakah “Saba” itu seorang laki-laki, perempuan, atau nama negeri. Nabi menjawab bahwa Saba adalah seorang lelaki yang memiliki sepuluh keturunan, enam menetap di Yaman dan empat lainnya hijrah ke Syam. Yang tinggal di Yaman adalah kabilah Mulhaj, Kindah, Azd, Asy’ari, Anmar, dan Himyar.
Sementara yang di Syam adalah Lakham, Juzam, ‘Amilah, dan Gassan. Riwayat ini juga dicatat oleh Al-Hafiz Ibn Abdul Barr dalam Al-Qasdu wal Umam dan diperkuat oleh jalur periwayat lainnya. Dalam Sahih Bukhari, Nabi SAW bahkan pernah menegaskan garis nasab mereka saat menjumpai orang-orang Aslam yang sedang berlatih memanah, seraya bersabda: “Berlatihlah wahai anak-anak Ismail, karena ayah kalian adalah seorang pemanah.”
Penjelasan Ibnu Katsir menegaskan bahwa maksudnya bukan Saba memiliki sepuluh anak langsung dari sulbinya, tetapi bahwa sepuluh kabilah itu merupakan keturunan yang bersambung kepadanya dalam beberapa lapis nasab. Setelah banjir besar itu, sebagian keturunan Saba tetap tinggal di Yaman, sementara lainnya melakukan perjalanan jauh mencari negeri baru untuk menetap.
Baca Juga : Korban Tembus 712 Jiwa, Banjir dan Longsor Sumatra Tinggalkan Kerugian Rp 68,7 Triliun
Nama asli Saba, menurut Ibnu Katsir dan ahli nasab seperti Muhammad bin Ishaq, adalah Abdu Syams bin Yasyjub bin Ya’rib bin Qahtan. Ia pernah dijuluki Ar-Raisy karena dikenal sebagai orang pertama yang membagi harta rampasan perang kepada kaumnya.
Menariknya, ada syair kuno yang dinisbahkan kepadanya, berisi bisikan nubuat tentang munculnya Nabi Muhammad SAW. Bait-bait itu menyebut akan datang seorang pemimpin bernama Ahmad, sosok yang teguh dan tak pernah berdamai dengan kezaliman. Dalam syairnya ia bahkan berharap bisa hidup hingga masa kenabian itu tiba agar dapat menyokong perjuangan sang Nabi.
Ulama kemudian berbeda pandangan mengenai nasab Qahtan, figur utama dalam garis keturunan Arab. Ada yang berpendapat Qahtan berasal dari Iram bin Sam bin Nuh. Pendapat lain mengaitkannya dengan Nabi Hud as. Sebagian lagi menyebut ia keturunan Ismail as. Perbedaan ini dijelaskan panjang oleh Ibn Abdul Bar dalam Al-Anbah, menunjukkan betapa luas dan berlapisnya sejarah asal-usul bangsa Arab.
