Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Opini

Ketika Identitas Sosial Disinggung: Reaksi Publik terhadap Kasus Trans7 dan Sosok Kyai

Penulis : Farikhatul Azizah - Editor : Redaksi

17 - Oct - 2025, 14:12

Placeholder
Farikhatul Azizah, Mahasiswi Magister Sains Psikologi Universitas Brawijaya, Alumni Pondok Pesantren Miftahul Huda Kepanjen

JATIMTIMES - Kasus tayangan di salah satu program Trans7 yang dianggap menghina sosok kyai memantik gelombang reaksi besar di media sosial. Banyak masyarakat merasa tersinggung, marah, dan kecewa atas tayangan tersebut. Tidak sedikit yang menilai bahwa hal itu mencederai nilai-nilai keagamaan dan penghormatan terhadap figur yang dianggap dihormati dalam budaya pesantren.

Namun jika ditelaah lebih dalam, reaksi publik ini bukan sekadar luapan emosi spontan. Dari kacamata psikologi sosial, fenomena ini bisa dijelaskan melalui Social Identity Theory (Tajfel & Turner, 1986). Teori ini menjelaskan bahwa setiap individu membangun sebagian dari harga dirinya melalui keanggotaan dalam kelompok sosial misalnya sebagai umat beragama, santri, atau masyarakat pesantren. Ketika simbol kelompok (dalam hal ini kyai dan pesantren) dianggap dihina, individu merasa bahwa identitas dirinya juga ikut diserang.

Baca Juga : Fatwa MUI Kukuhkan Landasan Syariah Perlindungan Pekerja Indonesia

 

Dalam konteks ini, kemarahan masyarakat menjadi wujud solidaritas kelompok (ingroup solidarity). Reaksi kolektif seperti menyerukan boikot, membuat tagar, atau menuntut permintaan maaf, bukan semata tindakan impulsif, tetapi bagian dari upaya mempertahankan kehormatan sosial yang terusik. Emosi moral seperti marah dan tersinggung muncul karena individu merasa perlu menjaga nilai-nilai kelompok yang mereka anggap sakral.

Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki pengalaman langsung dengan kehidupan pesantren mungkin sulit memahami nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam lingkungan tersebut. Pengalaman sebagai santri bukan hanya soal belajar agama, tetapi juga membentuk rasa hormat, kedekatan spiritual, dan hubungan emosional yang kuat terhadap sosok kiai dan lembaga pesantren. Karena itu, bagi mereka yang tumbuh di luar kultur ini, makna penghormatan terhadap simbol keagamaan sering kali tidak terbentuk dengan kedalaman yang sama.

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa kebebasan berekspresi di ruang publik tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab sosial dan sensitivitas budaya. Dalam masyarakat yang majemuk, ekspresi media perlu mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat agar tidak menyinggung identitas kelompok tertentu.

Sebagai bagian dari komunitas pesantren, kemarahan santri adalah bentuk pembelaan terhadap kehormatan, bukan tindakan destruktif. Wajar jika muncul tuntutan agar pihak terkait memberikan klarifikasi dan tanggung jawab moral atas konten yang dianggap melanggar batas kesopanan. Karena itu, sebelum menghakimi reaksi santri, ada baiknya kita menempatkan diri pada posisi yang sama. Jika simbol, tokoh, atau nilai yang kita junjung tinggi disinggung, tentu kita juga akan merasa tersakiti. Bedanya, santri memilih menyalurkan kemarahan dengan cara yang beradab menuntut klarifikasi dan menjaga sikap hormat terhadap kyai yang telah menjadi sumber ilmu dan teladan.

Penulis: Farikhatul Azizah

Mahasiswi Magister Sains Psikologi, Universitas Brawijaya

Alumni Pondok Pesantren Miftahul Huda Kepanjen 


Topik

Opini opini trans7 pondok pesantren kiai identitas sosial



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Batu Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Farikhatul Azizah

Editor

Redaksi