Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Serba Serbi

Dari Kuda Angkut ke Pos Udara: Sejarah Layanan Pos di Hindia Belanda 1862-1930

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

17 - Oct - 2025, 13:39

Placeholder
Mengintip sejenak masa lalu Hindia Belanda. Inilah Kantor Pos, pusat komunikasi dan peradaban di era kolonial. (Sumber foto: Istimewa. Diwarnai dengan AI)

JATIMTIMES - Pada paro kedua abad ke-19, Hindia Belanda memasuki masa transisi menuju modernitas administratif. Pemerintahan kolonial sedang giat menata infrastruktur ekonomi dan komunikasi, seiring berkembangnya kapitalisme kolonial dan perluasan birokrasi. Dalam dunia yang masih dihubungkan oleh kapal uap dan jalan tanah, surat menjadi urat nadi penghubung antarpulau, antarkota, dan antarwarga di koloni yang luas ini.

Namun, sebelum pertengahan abad itu, pengiriman surat di Hindia Belanda tidak lebih dari usaha sporadis: diatur secara lokal, bergantung pada pedagang, pelaut, atau kurir pribadi yang kadang membawa surat atas dasar kepercayaan semata. Di Jawa, surat-surat antara kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya kerap diangkut lewat kereta kuda atau kapal pesisir tanpa sistem yang seragam.Baru setelah tahun 1862, pemerintah kolonial menetapkan regulasi resmi yang menandai lahirnya sistem pos modern di Hindia Belanda, sebuah lembaga monopoli negara yang kelak menjadi simbol efisiensi dan kendali administratif.

Baca Juga : Patrick Kluivert Dipecat, Berikut Daftar Pelatih Timnas Indonesia dari Masa ke Masa

Dengan regulasi itu, komunikasi tidak lagi sekadar urusan pribadi, tetapi menjadi alat pengawasan dan penghubung kekuasaan. Dari sinilah dimulai perjalanan panjang layanan pos di tanah jajahan, dari kuda angkut di pedalaman hingga pesawat udara yang melintas di atas langit Jawa dan Sumatra.

Kuda angkut

Regulasi 1862: Lahirnya Monopoli Pos Pemerintah

Tahun 1862 menjadi tonggak penting dalam sejarah komunikasi di Hindia Belanda. Pada tahun itu, pemerintah mengumumkan peraturan baru yang menegaskan monopoli negara atas pengangkutan surat-surat, sekaligus menetapkan standarisasi prangko untuk korespondensi di daerah pedalaman. Sebelumnya, berbagai wilayah masih menggunakan sistem pos setempat tanpa aturan yang jelas, sebagian dikelola oleh pejabat pribumi, sementara sebagian lainnya diurus oleh pedagang atau misionaris.

Regulasi 1862 tidak hanya menciptakan keseragaman administrasi, tetapi juga menandai perubahan cara pandang terhadap komunikasi. Surat kini menjadi bagian dari sistem ekonomi kolonial yang terukur: tarif ditentukan, wilayah pengantaran diatur, dan jaringan pos mulai dirancang secara sistematis. Pemerintah kolonial melihat pos bukan sekadar sarana tukar kabar, melainkan alat untuk mengintegrasikan koloni yang tersebar.

Pada masa inilah juga mulai dirancang sistem pengantaran surat yang lebih teratur, dengan jalur-jalur tetap di kota-kota besar di Jawa. Kantor pos mulai dibuka di Batavia, Semarang, dan Surabaya sebagai pusat utama, sementara daerah pedalaman masih bergantung pada kurir atau kuda angkut. 

Pengiriman surat

Tahun 1864–1892: Prangko, Wesel, dan Jaringan yang Mengikat Nusantara

Dua tahun setelah regulasi itu diberlakukan, pada tahun 1864, Hindia Belanda mengeluarkan prangko pertama sebagai simbol resmi komunikasi negara. Kehadiran prangko tersebut menandai babak baru dalam sistem surat-menyurat yang sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah. Pada tahun yang sama, layanan wesel pos untuk daerah pedalaman juga dibuka. Melalui wesel ini, pengiriman uang antarwilayah menjadi lebih mudah, terutama bagi para pedagang, pejabat, dan keluarga yang tersebar di berbagai daerah.

Perluasan sistem terus berlanjut. Pada 1876, layanan wesel antarnegara diperkenalkan, membuka jalur pengiriman uang lintas batas kolonial. Enam belas tahun kemudian, pada 1892, layanan wesel luar negeri sepenuhnya dioperasikan, langkah yang menegaskan integrasi Hindia Belanda ke dalam jaringan komunikasi global.

Pak pos

Sementara itu, layanan pos paket diperkenalkan pada 1893, menandai peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap pengiriman barang dan dokumen. Data statistik menunjukkan bahwa dalam kurun 1870–1890, volume surat dan paket meningkat tajam, seiring bertambahnya jumlah penduduk Eropa dan pribumi terdidik di kota-kota besar.

Satu momen penting lainnya adalah tahun 1877, ketika Hindia Belanda bergabung dengan Kesatuan Pos Dunia (Universal Postal Union). Keanggotaan ini memberi keuntungan besar: tarif dan standar pos diseragamkan dengan dunia internasional, memungkinkan surat dari Batavia dikirim ke Amsterdam atau Singapura tanpa perantara swasta. Sejak saat itu, pos Hindia Belanda tidak lagi sekadar urusan internal koloni, melainkan bagian dari jaringan komunikasi global yang sedang tumbuh di bawah imperium kolonial Eropa. 

Jaringan Jalan, Kereta, dan Laut: Modernitas yang Menyusup

Perkembangan pos Hindia Belanda tidak bisa dipisahkan dari kemajuan infrastruktur. Jaringan jalan raya yang dibangun sejak masa Gubernur Jenderal Daendels (1808–1811) menjadi tulang punggung utama pengiriman surat. Namun memasuki akhir abad ke-19, kereta api dan kapal uap mulai mengambil peran dominan.

Kereta api

Rel kereta milik pemerintah mulai digunakan sejak awal 1890-an untuk mendukung pengangkutan surat dan paket. Pada tahun 1891, layanan pos resmi melalui jalur kereta diperkenalkan. Petugas pos khusus ditempatkan di gerbong yang disebut ambulant service, yaitu semacam kantor pos berjalan yang berfungsi mengantarkan dan menukar kantong surat di setiap stasiun utama.

Di beberapa stasiun, terutama pada jalur ekspres yang tidak berhenti di kota-kota kecil, pemerintah mulai memperkenalkan alat tukar kantong surat otomatis sejak tahun 1906. Melalui sistem ini, surat dapat diambil dan dikirim tanpa perlu menghentikan kereta, suatu inovasi yang mencerminkan tingkat efisiensi tinggi pada masanya. Kantong surat diikat, digantung pada tiang, lalu diambil oleh petugas kereta dengan menggunakan pengait khusus, menciptakan pemandangan menarik di sepanjang jalur Batavia hingga Surabaya yang selalu ramai.

Selain rel, kapal uap menjadi sarana vital bagi komunikasi antarpulau. Pemerintah menandatangani kontrak dengan Perusahaan Paket Kerajaan (KPM) untuk menjalankan layanan reguler antar pelabuhan utama Nusantara. Di atas dek beberapa kapal, bahkan didirikan kantor pos terapung yang memungkinkan pengiriman dan penerimaan surat di tengah perjalanan laut.

Bagi pelabuhan kecil yang tidak dilayani kapal besar, kapten kapal swasta diwajibkan mengangkut surat dengan biaya tetap. Kebijakan ini menjamin bahwa daerah-daerah terpencil pun tetap terhubung. Sementara wilayah pedalaman yang belum memiliki rel, trem, atau pelabuhan, masih mengandalkan mobil pos, kuda angkut, pembawa surat desa, atau posproas (kurir tradisional).

Pada tahun 1883, pemerintah memperkenalkan lembaga baru yang disebut pos wilayah di Jawa dan Madura, yaitu semacam kantor pos pedesaan yang berfungsi melayani pertukaran surat resmi antara otoritas desa dan pemerintah daerah. Baru pada tahun 1892, layanan pos wilayah diperluas untuk melayani surat-surat pribadi, menandai langkah awal masuknya komunikasi modern ke desa-desa di pedalaman Jawa.

Pos wilayah

1906–1920: Layanan Kereta Pos dan Pos Wilayah Pedalaman

Baca Juga : 5 Daerah Terpanas di Jawa Timur, Lamongan Urutan Pertama! Surabaya dan Jombang Juga Membara

Memasuki abad ke-20, layanan pos Hindia Belanda memasuki masa kematangan. Sistemnya semakin rumit namun efisien, mencerminkan birokrasi kolonial yang kian mapan. Rel kereta kini bukan sekadar alat transportasi, melainkan bagian dari ritme administratif sehari-hari. Gerbong-gerbong pos yang berjalan di malam hari menghubungkan kota-kota besar seperti Batavia, Bandung, Semarang, dan Surabaya dengan ketepatan waktu yang mulai menyerupai standar Eropa.

Di pedalaman, pos wilayah terus diperluas. Tahun 1910–1920 menunjukkan lonjakan besar dalam jumlah surat yang dikirim dari desa. Data statistik mencatat bahwa volume pengiriman pos meningkat hingga jutaan lembar setiap tahun. Surat, kartu pos, dan barang cetak menjadi medium komunikasi yang vital, tidak hanya bagi pejabat kolonial tetapi juga bagi rakyat biasa yang mulai mengenal budaya tulis-menulis.

Laporan administrasi pos Hindia Belanda pada dekade ini memperlihatkan kemajuan luar biasa: ribuan kantor pos, ratusan pos pedalaman, dan penerimaan pos yang mencapai jutaan gulden. Sistem wesel dan pengiriman uang juga semakin ramai, menandakan meningkatnya aktivitas ekonomi di antara penduduk bumiputra.

Pak pos

1928 hingga 1930: Dari Laut ke Langit, Era Pos Udara dan Perjanjian Dunia

Tahun 1928 menjadi tonggak baru dalam sejarah komunikasi di Hindia Belanda. Pada 1 November 1928, pemerintah membuka layanan pos udara harian antara Weltevreden (Batavia) dan Semarang, serta Weltevreden dan Bandung. Tak lama kemudian, rute harian antara Weltevreden dan Surabaya juga diresmikan.

Langkah ini menandai masuknya Hindia Belanda ke era modernitas udara. Pesawat kini menggantikan sebagian peran kapal dan kereta dalam mengantarkan surat-surat penting. Pada Februari 1930, dibuka pula layanan pos udara mingguan antara Batavia dan Palembang, dan segera setelahnya direncanakan rute lanjutan menuju Singapura, menjadikan Hindia Belanda bagian dari jejaring pos udara internasional yang baru lahir.

Perjanjian navigasi udara dan kerja sama pos dengan maskapai asing menandai perubahan besar dalam logistik komunikasi kolonial. Surat yang dulunya memakan waktu berminggu-minggu kini dapat dikirim antar kota besar hanya dalam hitungan jam.

Untuk kepentingan komunikasi antarpulau, pemerintah tetap mempertahankan kerja sama dengan Perusahaan Paket Kerajaan (KPM). Kapal-kapal uapnya terus melayani jalur pelabuhan utama seperti Batavia, Makassar, Ambon, hingga Belawan. Kantor pos terapung di atas kapal menjadi simbol integrasi kepulauan yang luas, memungkinkan wilayah terpencil seperti Halmahera atau Flores tetap menjadi bagian dari sistem pos nasional.

Pada masa inilah Hindia Belanda juga mulai berpartisipasi dalam Konvensi Stockholm, perjanjian internasional mengenai layanan paket dan wesel antarnegara. Melalui perjanjian terpisah, pertukaran paket dan uang antarpos menjadi lebih teratur.

Statistik resmi mencatat pertumbuhan yang luar biasa. Pada tahun 1900, jumlah kantor pos tercatat sekitar 546. Dua dekade kemudian, pada tahun 1920, jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 572, dan pada tahun 1928 mencapai 583 kantor pos yang tersebar di seluruh kepulauan. Volume surat mencapai belasan juta lembar, dengan penerimaan pos melebihi 125 juta gulden pada akhir 1920-an, angka yang tergolong fantastis untuk ukuran ekonomi kolonial pada masa itu.

Surat, kartu pos, wesel, dan paket menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Di kota-kota seperti Surabaya dan Batavia, pengiriman ekspres dan layanan tercatat mulai digunakan untuk keperluan komersial, sementara surat kabar dan barang cetak dikirim secara massal untuk menyuplai pasar pembaca yang sedang tumbuh.

Orang Jawa

Surat, Waktu, dan Cermin Modernitas Hindia

Sejarah layanan pos di Hindia Belanda antara 1862 dan 1930 mencerminkan perjalanan panjang kolonialisme menuju modernitas. Dari kuda angkut di pedalaman hingga pesawat udara yang melintas di atas kota-kota besar, setiap inovasi menunjukkan bagaimana komunikasi menjadi sarana penguasaan sekaligus penghubung.

Pos tidak hanya mencerminkan kemajuan teknologi, tetapi juga menandai perubahan sosial yang mendalam. Lembaga ini membuka jalan bagi integrasi ekonomi, menyebarkan berita, mempertemukan keluarga, serta menghubungkan pejabat dengan rakyat. Dalam dunia kolonial yang luas dan berlapis, pos menjadi simbol keteraturan, ketepatan, dan kedisiplinan, nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh administrasi Belanda.

Namun di balik efisiensi itu, tersimpan paradoks. Jaringan pos yang diciptakan untuk kepentingan kolonial justru menjadi cikal bakal komunikasi nasional pada masa berikutnya. Melalui surat dan kartu pos, ide-ide modern, pendidikan, dan kesadaran kebangsaan perlahan mengalir melintasi kepulauan.

Noni belanda

Ketika pesawat pos pertama melintasi langit Batavia pada 1928, dunia telah berubah. Modernitas tidak lagi hanya milik Eropa, tetapi juga berjejak di tanah Hindia. Dari kuda angkut hingga pos udara, sejarah pos Hindia Belanda adalah cermin transformasi sebuah negeri yang perlahan belajar membaca, menulis, dan menghubungkan dirinya dengan dunia.


Topik

Serba Serbi sejarah pos pos indonesia pos zaman belanda



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Batu Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri

Serba Serbi

Artikel terkait di Serba Serbi