JATIMTIMES - Gelombang aksi demonstrasi yang mengguncang berbagai daerah di Indonesia sejak akhir Agustus 2025 hingga memasuki September terus menekan lembaga legislatif untuk menunjukkan sikap tegas. Ribuan massa yang turun ke jalan menuntut perbaikan tata kelola pemerintahan, transparansi, hingga akuntabilitas wakil rakyat membuat citra DPR RI berada di ujung tanduk.
Di tengah derasnya gelombang kritik dan kemarahan publik itu, DPR akhirnya mengambil langkah penting dengan menonaktifkan lima anggotanya yang terjerat polemik dan menuai kontroversi.
Baca Juga : Tuntutan Rakyat 17+8 Viral di Medsos, Berikut Penjelasannya
Keputusan ini tidak hanya dipandang sebagai respons atas desakan massa, tetapi juga sebagai upaya meredam gejolak politik serta mengembalikan marwah DPR di tengah menurunnya kepercayaan masyarakat.
Kelima anggota DPR yang dimaksud adalah Ahmad Satroni dan Nafa Urbach dari Partai NasDem, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Surya Utama (Uya Kuya) dari Partai Amanat Nasional (PAN), serta Adies Kadir dari Partai Golkar.
Apa Makna “Dinonaktifkan” bagi Anggota DPR?
Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI Nazaruddin Dek Gam menjelaskan bahwa penonaktifan bukan sekadar simbolik. Menurut dia, anggota DPR yang sudah berstatus nonaktif otomatis tidak bisa lagi menjalankan fungsi dan aktivitas sebagai wakil rakyat.
"Kalau sudah dinonaktifkan, artinya mereka tidak bisa lagi beraktivitas sebagai anggota DPR. Mereka juga tidak akan mendapat fasilitas ataupun tunjangan sebagai anggota DPR RI,” tegas Nazaruddin.
Ia menambahkan, langkah ini penting untuk menjaga marwah lembaga legislatif sekaligus menunjukkan ketegasan partai politik dalam menegakkan integritas.
Nonaktif vs Pemecatan, Apa Bedanya?
Meski publik banyak menafsirkan penonaktifan sama dengan pemecatan, secara hukum keduanya memiliki perbedaan. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, istilah “penonaktifan” sebenarnya tidak dikenal.
Undang-undang tersebut hanya mengatur beberapa mekanisme, antara lain:
• Pemberhentian antarwaktu (PAW): dilakukan jika anggota DPR meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan oleh partai.
• Penggantian antarwaktu: partai politik dapat mengganti anggota DPR dengan kader lain sesuai keputusan internal.
Baca Juga : 10 Demonstrasi Terbesar Sepanjang Sejarah Dunia, Indonesia Ikut Catatkan Aksinya?
• Pemberhentian sementara: berlaku bagi anggota DPR yang menjadi terdakwa kasus pidana dengan ancaman hukuman minimal lima tahun atau terjerat perkara tindak pidana khusus.
Dengan demikian, penonaktifan lebih tepat dipahami sebagai bentuk pembekuan sementara aktivitas politik dan fasilitas anggota DPR, bukan pemecatan permanen.
Status dinonaktifkan membuat anggota DPR kehilangan seluruh hak dan fasilitasnya, serta tidak bisa menjalankan tugas sebagai wakil rakyat. Namun, berbeda dengan pemecatan, status nonaktif belum berarti kehilangan kursi secara permanen karena keputusan final tetap mengacu pada mekanisme PAW atau pemberhentian sesuai UU MD3.
Langkah ini menjadi sorotan publik karena dianggap sebagai ujian serius bagi partai politik dan DPR RI dalam menjaga integritas serta kepercayaan masyarakat.