Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Peristiwa

Kehidupan Sehari-hari di Keraton: Hamengkubuwana I dan Abdi Dalem

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

04 - Sep - 2025, 14:40

Placeholder
Lukisan realis: Sultan Hamengkubuwana I di depan gerbang Taman Sari Yogyakarta. (Foto: created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Di balik tembok megah Keraton Yogyakarta, dunia yang tertata rapi dan serba simbolik dijalankan dengan ketelitian hampir militeristik. Di masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana I (1755–1792), tata kehidupan di dalam kompleks kraton, khususnya bagi para abdi-Dalem, mencerminkan wajah kekuasaan Jawa dalam bentuk paling halus dan dalam waktu yang sama paling keras. Setiap langkah, pakaian, dan posisi tubuh mengandung makna politik. Setiap gerak menandai hubungan antara manusia dan kuasa, antara rakyat dan raja, antara tubuh dan ideologi.

Munculnya Tatanan Baru Pasca-Giyanti

Situs Giyanti

Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 menjadi titik balik yang menandai kelahiran Kesultanan Yogyakarta. Dari tubuh Mataram Islam yang retak akibat konflik internal dan campur tangan VOC, muncul dua kekuatan baru: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwana I, sebagai pendiri dan penguasa pertama Yogyakarta, tidak hanya menerima warisan kekuasaan, tetapi juga memikul beban sejarah, dendam politik, dan tugas berat membangun legitimasi.

Dalam konteks ini, kraton bukan sekadar tempat tinggal raja, melainkan juga pusat kekuasaan simbolik, administratif, dan spiritual. Segala hal yang terjadi di dalamnya — mulai dari pakaian abdi hingga aturan melapor sebelum masuk gerbang — memiliki dimensi politis.

Kraton sebagai Panggung Kekuasaan

Baca Juga : 30+ Ucapan Maulid Nabi 2025 yang Menyentuh Hati dan Penuh Makna, Cocok untuk Status Media Sosial

Kehidupan harian abdi-Dalem diatur dalam tatanan ketat yang disebut sebagai "tatacara caos bekti". Caos bekti, atau persembahan hormat, dilakukan dalam berbagai bentuk: menghadap raja, menjalankan tugas harian, hingga menjaga simbol-simbol kerajaan. Para abdi-Dalem bukan hanya pelayan administratif; mereka adalah aktor yang memerankan struktur sosial kerajaan.

Setiap hari Senin dan Kamis, suasana Kraton Yogyakarta berubah menjadi panggung upacara yang sarat makna simbolik. Para abdi-Dalem punakawan dengan tertib menghadap Sultan Hamengkubuwana I. Mereka mengenakan baju beskap atau pranakan sembagi. Namun pada saat pasowanan, baju pranakan sembagi itu wajib dibuka. Isyarat ini bukan semata ritual, melainkan penanda keterbukaan dan kerendahan diri di hadapan raja. Sebaliknya, para abdi dari kalangan bekel hingga Langenastran tetap diperkenankan membawa keris. Sebilah senjata yang dalam konteks budaya Jawa, lebih dari sekadar pusaka. Ia adalah lambang status, kepercayaan, sekaligus legitimasi akses terhadap kekuasaan.

Abdi dalem

Di balik kain dan busana yang dikenakan, terdapat lapisan-lapisan makna yang dikonstruksi dengan teliti oleh struktur budaya kraton. Dalam ruang itu, pakaian tidak pernah netral. Warna, motif, dan cara pemakaian menjadi alat komunikasi visual yang membedakan status sosial, jenis tugas, hingga ruang akses seorang abdi-Dalem. Misalnya, abdi musikan dan kusir kenek diberikan hak istimewa untuk mengenakan kain sembagi berwarna toro. Warna merah gelap ini bukan sekadar estetika. Ia adalah simbol kehormatan, yang hanya boleh dikenakan oleh mereka yang telah mengantongi izin dari pusat kekuasaan.

Tatanan ini menunjukkan bahwa kraton adalah panggung teater sosial yang hidup. Setiap gerak tubuh, lipatan kain, dan hiasan kepala adalah bagian dari sandiwara kekuasaan yang berlangsung terus-menerus. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kraton menciptakan politik simbol melalui narasi diam. Narasi yang dijalankan bukan lewat pidato atau proklamasi, tetapi melalui koreografi tubuh, etiket, dan visualitas yang diwariskan lintas generasi.

Ritus Masuk dan Keluar

Setiap gerak menuju raja harus melewati ritual pelaporan. Siapa pun yang akan menghadap, baik itu Bendara Pangeran atau abdi biasa, wajib melapor kepada Priyayi Bupati Ageng. Pelaporan ini dilakukan baik pada malam sebelum menghadap maupun ketika hendak pulang. Dalam sistem ini, pelaporan bukan hanya administrasi, melainkan penegasan relasi kekuasaan: siapa boleh bertemu raja, kapan, dan dalam kondisi apa.

Abdi yang berjalan menyertai majikannya wajib berada di belakang, kecuali jika ia menyertai Bendara Pangeran. Bahkan posisi duduk di pasowanan pun ditentukan. Jika lurah sudah duduk, abdi yang lain tidak boleh melangkah lebih dahulu.

Abdi dalem

Tidak semua orang bisa melintasi halaman kraton. Hanya abdi-Dalem yang sedang menghadap atau bekerja yang diperbolehkan lewat, jika Sultan Hamengkubuwana I sedang duduk di Bangsal Kencana. Para perempuan yang ingin masuk, bahkan istri priyayi sekalipun, harus melalui izin dan pengawalan ketat.

Pengawasan dan Pengendalian

Di dalam sistem ini, pengawasan berjalan nyaris tanpa cela. Priyayi Wadana Punakawan yang bertugas malam hari wajib meronda dua kali, membawa serta prajurit ke dalam Cepuri. Tidak seorang pun boleh membawa pengawal pribadi ke dalam kraton saat malam, kecuali anak kecil.

Abdi yang bekerja di dalam halaman harus mengenakan kuluk hitam atau merah, masing-masing dengan aturan bebed kain yang sesuai. Setiap warna, setiap motif, mencerminkan fungsi, hierarki, dan jaringan kuasa.

Jika ada pelanggaran, abdi lain berkewajiban menegur. Jika teguran diabaikan, laporan harus segera disampaikan kepada Priyayi Ageng. Sistem ini menuntut loyalitas penuh, tapi juga menjamin disiplin dan kontrol sosial secara menyeluruh.

Abdi Jogja

Struktur Sosial dan Tanda Kuasa

Hierarki abdi dalem di lingkungan Kraton Yogyakarta tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga simbolik, bahkan nyaris ritualistik. Setiap jenjang memiliki hak, larangan, serta atribut yang mencerminkan posisi sosial dan kedekatannya dengan pusat kekuasaan.

Para abdi punakawan, bekel, Langenastran, hingga para bupati, musikan, dan kusir tidak berdiri sejajar dalam kehidupan sehari-hari kraton. Mereka tunduk pada seperangkat aturan simbolik yang ketat. Misalnya, seorang anak dari golongan abdi dalem rendah yang belum menyandang gelar "Raden Mas" dilarang mengenakan udheng (ikat kepala) secara resmi. Hanya mereka yang memiliki garis keturunan bangsawan atau telah diberi pengakuan keningratan oleh raja yang boleh memakainya di hadapan publik. Udheng, yang tampak sepele bagi orang luar, sesungguhnya adalah lambang status yang menentukan siapa boleh menunduk dan siapa patut dihormat.

Abdi jogjakarta

Pembagian tugas dalam upacara kerajaan juga menunjukkan stratifikasi ini dengan presisi yang mengakar. Seorang Bendara Pangeran, yakni putra raja berpangkat, diperbolehkan membawa kecohan atau wadah sirih pinang dari perak murni sebagai bagian dari tugas seremoni. Sebaliknya, seorang bupati, meskipun berkedudukan tinggi di luar kraton, hanya diizinkan membawa kecohan dari kuningan. Tidak ada kompromi. Semua benda, dari jenis logam hingga motif ukiran, merupakan representasi konkret dari batas-batas sosial dan politik dalam sistem kerajaan.

Ritual sekecil ini, yang dilakukan berulang-ulang dalam acara resmi, memperlihatkan bagaimana kekuasaan tidak sekadar dipertontonkan melalui pidato atau arak-arakan besar, tetapi juga dijaga dan diwariskan lewat disiplin simbolik yang nyaris tak kasatmata. Inilah cara kraton melestarikan struktur kekuasaannya: tidak hanya melalui senjata dan gelar, tetapi juga lewat benda-benda kecil yang menegaskan siapa penguasa, siapa pembawa, dan siapa penonton. 

Teater di Balik Gerbang Kraton

Dunia dalam kraton tidak dibentuk oleh hukum tertulis semata, melainkan oleh adat yang hidup dalam tubuh. Gerakan seperti kulukan, membuka baju sikepan, menyelipkan keris, atau melepas udheng bukan sekadar kebiasaan. Semua adalah bentuk politik tubuh. Penulis menyebutnya sebagai praktik biopolitik, ketika kekuasaan meresap ke dalam gestur sehari-hari.

Dalam konteks Jawa abad ke-18, spiritualitas tak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Abdi tidak hanya bekerja untuk Sultan sebagai manusia, tetapi juga sebagai representasi tatanan kosmis. Raja adalah poros dunia, dan kraton adalah pusat jagat. Dalam keyakinan ini, kesalahan kecil bukan hanya kekeliruan prosedural, melainkan ancaman terhadap harmoni semesta.

Baca Juga : Heboh Notifikasi NO SYSTEM IS SAFE! di MyTelkomsel, Begini Cara Mengatasinya

Kehidupan tertib dan ritualistik di kraton masa Hamengkubuwana I adalah upaya membangun stabilitas dari reruntuhan sejarah. Luka dari Kartasura, perpecahan Mataram, dan bayang-bayang VOC melahirkan kesadaran bahwa kuasa tak cukup dijalankan. Ia harus dipertunjukkan. Karena itu, prosesi, pakaian, dan posisi menjadi bahasa diam yang mengatur segalanya.

Sistem ini menciptakan elite administratif yang tidak hanya menjalankan tugas, tetapi meyakini dirinya sebagai bagian dari dunia suci. Loyalitas pun menjadi total. Melanggar raja berarti melanggar tatanan kosmos.

Kehidupan para abdi-Dalem bukan catatan pinggiran, melainkan fondasi kekuasaan kraton. Dengan disiplin nyaris militer, seragam penuh simbol, dan ritual berulang yang berjalan seperti mesin waktu, mereka menghidupkan kraton sebagai panggung kekuasaan yang bisu namun penuh makna.

Abdi dalem kraton

Di tengah guncangan kolonial dan trauma politik, kraton Yogyakarta tampil sebagai panggung utama; sebuah arena di mana suara-suara yang tak terdengar justru memekakkan. Kekuasaan di sana dibangun bukan hanya dengan pedang, tetapi melalui gerak, pakaian, dan tatapan diam para pelayan istana.

Tatanan simbolik dan kekuasaan yang mengatur tubuh dan pikiran para abdi dalam kraton tidak dapat dipisahkan dari perjalanan seorang pangeran yang ditempa pergolakan politik dan perang panjang hingga akhirnya tampil sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana I pendiri Kasultanan Yogyakarta.

Riwayat Singkat Hamengkubuwana I: Raja Peletak Dasar Yogyakarta

HB 1

Pada 5 Agustus 1717, di tengah pergolakan dinasti Kartasura, lahirlah seorang bayi laki-laki dari selir bernama Mas Ayu Tejawati. Ia diberi nama Bendara Raden Mas Sujono, kelak dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi, dan pada puncaknya, sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kasultanan Yogyakarta.

Putra ke-15 dari Sunan Amangkurat IV, Pangeran Mangkubumi lahir dari darah biru Mataram sekaligus trah spiritual Panembahan Senapati. Melalui garis ibunya, ia mewarisi silsilah Panembahan Juminah dari Madiun, GKR Retno Dumilah, hingga Sultan Demak III, menjadikannya tidak hanya pewaris politik tetapi juga pewaris ruhani kerajaan Jawa.

Sejak muda, Mangkubumi telah menunjukkan kecakapan militer dan spiritual. Ia mahir berkuda, menguasai ilmu senjata, dan menjalani disiplin laku keagamaan seperti puasa Senin-Kamis dan rutin membaca Al-Qur’an. Dalam Serat Cebolek, ia digambarkan sebagai seorang pangeran yang dekat dengan rakyat dan menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman sekaligus kejawen. Kepatuhan terhadap agama disandingkan dengan strategi politik yang lihai. Ini menjadi dasar kesetiaan luar biasa dari para pengikutnya.

Pada 1730, ia diangkat menjadi Pangeran Lurah, pangeran tertua yang dituakan setelah pamannya, juga bergelar Mangkubumi, wafat. Nama dan peran ini kelak akan mewarnai panggung sejarah Jawa secara monumental.

Abad ke-18 merupakan era krisis legitimasi di tubuh Mataram. Sejak pemberontakan Sunan Kuning dan Geger Pacina (1740), istana Kartasura terguncang oleh pemberontakan internal dan intervensi kolonial VOC. Ketika keraton berpindah ke Surakarta pada 1745, Pangeran Mangkubumi memainkan peran penting memadamkan pemberontakan Pangeran Sambernyawa, tetapi ia dikhianati oleh Patih Pringgoloyo yang bersekongkol dengan Belanda.

Merasa dicurangi dan ditelikung secara politik, Pangeran Mangkubumi memutuskan keluar dari lingkaran istana. Ia mengangkat senjata melawan VOC pada 1746, dan dalam tempo singkat mengonsolidasikan kekuatan rakyat. Pada 1747, pasukannya membengkak menjadi 13.000, termasuk 2.500 prajurit berkuda. Ia mendapat dukungan luas dari rakyat dan tokoh-tokoh anti-VOC seperti Sambernyawa.

Perlawanan Pangeran Mangkubumi mencapai titik balik ketika Paku Buwono II, dalam keadaan sakit, menyerahkan seluruh kedaulatan Mataram kepada VOC melalui Traktat 16 Desember 1749. Traktat ini menandai puncak kolonisasi simbolik Belanda atas tahta Jawa. Mangkubumi menolak tunduk dan menyatakan perang terbuka. Perang ini memakan korban besar di pihak VOC, memaksa Gubernur Baron van Hohendorff mengundurkan diri dan bahkan menyebabkan Gubernur Jenderal van Imhoff jatuh sakit hingga wafat.

Situasi genting mendorong pengganti van Hohendorff, Nicholas Hartingh, untuk mengubah pendekatan. Ia mengutus Syekh Ibrahim alias Tuan Sarip Besar, tokoh peranakan Arab, sebagai mediator. Diplomasi ini membuahkan hasil: Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755, memecah Mataram menjadi dua: Surakarta dan Yogyakarta. Inilah awal berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Penobatan Mangkubumi sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana I pada 13 Maret 1755 menjadi titik lahir negara baru di jantung Jawa. Ia bukan hanya seorang pejuang dan raja, melainkan juga arsitek budaya. Keraton Yogyakarta ia bangun dengan mempertimbangkan geografi strategis: Gunung Merapi di utara, Laut Selatan di selatan, Kali Code dan Winongo di timur dan barat. Tata letak keraton, taman, dan simbol-simbolnya sarat makna spiritual: sebuah dunia yang dicipta untuk menjadi pusat harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.

Dalam Babad Nitik Ngayogya, Hamengkubuwana I digambarkan sebagai raja bijaksana yang merancang keraton hingga ke detail hiasan dan vegetasi. Ia juga membangun Taman Sari, kompleks rekreasi dan meditasi raja. Karena prestasinya, banyak sejarawan menyebutnya sebagai “the great builder”, setara dengan Sultan Agung.

Falsafah yang ia wariskan seperti golong gilig manunggaling kawula Gusti dan hamemayu hayuning bawana menjelma menjadi ideologi politik dan spiritual Kasultanan Yogyakarta. Konsep watak satriya yang mencakup nyawiji, greget, sengguh, ora mingguh menjadi etos prajurit dan abdi dalem, menegaskan bahwa kekuasaan tidak hanya dilandaskan pada militer, tetapi juga pada etika dan laku spiritual.

Makam HB I

Sri Sultan Hamengkubuwana I wafat pada 24 Maret 1792, dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri. Ia mewariskan bukan hanya sebuah kerajaan, melainkan sistem nilai yang bertahan lebih dari dua abad. Pada 2006, pemerintah Republik Indonesia mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional. Kehadirannya dalam sejarah tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan, tetapi juga penjelmaan dari ideologi kekuasaan yang menyatu dengan budaya, spiritualitas, dan kehendak rakyat.


Topik

Peristiwa keraton yogyakarta yogyakarta perjanjian giyanti sultan hamengkubuwana



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Batu Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya