Pondok Pesantren, "Universitas" Tertua di Indonesia yang Pantang Pulangkan Santri jika Tak Miliki Biaya

Editor

Yunan Helmy

15 - Oct - 2025, 07:10

M. Bahrul Marzuki penulis adalah salah satu pendiri Forkom Jurnalis Nahdliyin (FJN)

Oleh : M. Bahrul Marzuki 

penulis adalah salah satu pendiri Forkom Jurnalis Nahdliyin (FJN)

Jelang Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap 22 Oktober, ada beberapa peristiwa besar di tahun 2025 ini.

Salah satunya musibah besar yang menimpa para santri di Ponpes Al-Khoziny, Sidoarjo yang menyebabkan 63 santri kehilangan nyawanya serta puluhan lainnya luka berat hingga luka ringan.

Baca Juga : Acara Xpose Uncensored Trans7 Disanksi KPI

Peristiwa ini tentu sangat memilukan sekali, terutama bagi para wali santri yang kehilangan anaknya maupun pihak keluarga yang kehilangan sanak-saudaranya.

Sebagian mereka ada yang sudah ikhlas merelakan kepergian anak-anaknya. Sebagian lagi mungkin masih ada yang belum.

Namun di media sosial mulai ramai muncul narasi tentang santri yang diperbudak, disuruh ikut mengerjakan pekerjaan tukang di pondok, dll.

Narasi-narasi tersebut wajar muncul. Bagi sebagian yang tak paham dengan tradisi santri dan pesantren akan sangat mudah sekali memvonis apa yang diistilahkan dengan tawadlu sebagai perbudakan, dan lain sebagainya.

Dunia pesantren sebenarnya adalah lembaga pendidikan tertua di Republik Indonesia ini. Keberadaanya jauh ada sebelum sekolah modern ataupun universitas serta institut hadir di Negeri ini.

Sehingga kalau mau diteliti kita akan menemukan ponpes-ponpes tua utamanya di tanah Jawa yang usianya lebih dari satu abad. Salah satu contohnya adalah Ponpes Sidogiri yang didirikan Sayyid Sulaiman yang diperkirakan pada tahun 1745 masehi.

Ponpes-ponpes ini seolah awet dan tak lekang di makan waktu. Peminatnya tetap ada, tak kemudian tetiba tutup karena santrinya habis dan bahkan sebagian lagi ada yang semakin berkembang tanpa kehilangan identitas salafnya.

Nah, jika di sekolah umum kita akan menemukan anak yang putus sekolah akibat tak ada biaya dari orang tua lagi, tidak demikian dengan dunia pesantren.

Hampir nyaris tak pernah ditemui santri dipulangkan karena pihak orang tua kehabisan biaya. 

Hal tersebut kembali pada keikhlasan dari pimpinan pondok pesantrennya. Bahwa Ponpes sedari awal didirikan memang untuk mengajarkan bekal ilmu Agama yang lebih komprehensif.

Baca Juga : Dukung Pembangunan Tol di Madura, Komisi D DPRD Jatim Dorong Sinergi Lintas Sektor

Bahwa pihak kiai juga memiliki tanggung jawab moral. Yakni, bagaimana agar anak didiknya bisa menyerap ilmu Agama dan mengamalkannya di kemudian hari. 

Sebab, jika diputus tengah jalan karena ketidak ada biayaan maka tak ada bedanya ponpes dengan sekolah di luar pada umumnya.

Biasanya sang kiai tidak serta merta akan mengeluarkan jika ada santri yang mengalami kesulitan. Sang kiai akan memilih sabar untuk memahami kondisi santrinya yang tak semuanya orang berada.

Karena itu dari sini lah muncul istilah abdi dalem. Yakni, santri yang karena tak memiliki biaya atau kekurangan biaya kemudian menjadikan dirinya untuk menjadi pesuruh kiai.

Mungkin orang di luaran sana ada yang tak memahami ini. Karena yang tahu tradisi santri dan pesantren kembali lagi adalah mereka yang pernah nyantri atau bergumul dengan para santri atau ada istilah tentang santri kalong, yakni santri yang tak menetap di dalam.

Dan saat ini kembali lagi dunia ponpes tengah diuji oleh tayangan salah satu televisi swasta yang sangat mendiskreditkan. Yang di dalamnya menyinggung tentang perbudakan para santri.

Saya menduga mereka yang memproduksi hal tersebut sehingga bisa kemudian muncul ke publik tak ada satu pun di dalamnya yang pernah mengenyam pendidikan di dunia pesantren.

Sehingga yang ada bukan lah tahu. Tapi dari ketidak tahuan yang kemudian menjadi sok tahu dan kemudian dengan bangga menunjukkan ketidak tahuannya ini.