JATIMTIMES - Di tengah euforia teknologi peternakan yang serba digital, ada satu pertanyaan sederhana yang justru terasa makin mendesak: apa gunanya kemajuan jika abai pada akar budaya sendiri?. Pertanyaan itulah yang, secara halus tapi tegas, menggantung sepanjang Webinar Visiting Lecturer dengan tema “Teknologi Reproduksi Berbasis Kearifan Lokal” yang digelar Fakultas Peternakan Universitas PGRI Kanjuruhan Malang (Unikama) belum lama ini.
Alih-alih memamerkan prestasi kegiatan, forum ini justru memancing obrolan kritis mengenai masa depan peternakan tropis: hubungan yang rapuh antara pengetahuan lokal dan teknologi reproduksi modern.

Dr Asmad Binti Kari dari Universiti Sultan Zainal Abidin tampil dengan pendekatan yang jauh dari textbook. Ia tidak bicara program, ia bicara pengalaman budaya, tentang bagaimana masyarakat Malaysia mengandalkan tiga penyangga utama: warisan genetik ternak lokal, pola pemeliharaan tradisional, dan praktik pengobatan hewan berbasis etnobotani.
Baca Juga : Sinergi Pemkot Blitar–Perpus Bung Karno: Puncak Pancasila Fest 2nd dan Hari Wayang Dunia Berjalan Meriah
Poinnya sederhana tapi menggelitik, bahwa kearifan lokal bukan museum. Ia bisa hidup berdampingan dengan inseminasi buatan, kriopreservasi, dan teknologi ART lainnya. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk tidak menganggap tradisi sebagai beban.

Nada serupa hadir dari Dr. Muchamad Luthfi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ia mempertanyakan anggapan bahwa inovasi harus mahal. Dengan tenang, ia menunjukkan bahwa deteksi kebuntingan bisa dilakukan dengan teknik simpel berbahan biji kacang hijau, murah, efektif, dan realistis untuk peternak yang jauh dari laboratorium.

Sisi lain datang dari Kalimantan Barat lewat pemaparan Dr. Yuli Arif Tribudi dari Universitas Tanjungpura (Untan). Ia membuka tabir tentang Ayam Tukong: ras lokal yang selama ini terpinggirkan, padahal punya nilai genetik dan ekonomi yang tidak kalah dari jenis komersial. Data morfometrik dan analisis genetik yang ia sajikan menunjukkan ironi: kita sering mengagumi impor, tapi menyepelekan plasma nutfah sendiri.
Dekan Fakultas Peternakan Unikama Dr Ir Enike Dwi Kusumawati mengangkat contoh konkret tentang teknologi yang lahir dari tanah sendiri. Hidrogel nanopartikel berbasis sumber daya lokal itu bukan hanya sekadar pengencer semen untuk inseminasi buatan, tetapi juga bisa mempercepat penyembuhan luka pada ternak. Murah, aplikatif, dan tidak membuat peternak ketergantungan pada produk luar.
“Perjumpaan teknologi modern dengan pengetahuan lokal selalu melahirkan perspektif baru. Di titik itu, produktivitas dan penyelamatan plasma nutfah bisa berjalan berdampingan," katanya.
Baca Juga : Cegah Karhutla DPR RI-Kementerian Kehutanan Edukasi Warga Songgon Banyuwangi
Yang menarik dari forum ini bukan sliding presentasinya, tapi keberanian menggugat pola pikir lama. Diskusinya seperti mengingatkan bahwa masa depan peternakan tropis tidak akan ditentukan oleh seberapa cepat kita mengikuti tren global, tetapi seberapa jeli kita menyatukan teknologi dengan pengetahuan yang sudah lama hidup di desa-desa.
Unikama memosisikan diri bukan sebagai penyelenggara acara, tetapi sebagai pengusik wacana: menantang anggapan bahwa inovasi harus memutus hubungan dengan tradisi. Justru di titik pertemuan keduanya, lahir peluang baru yang lebih membumi.
