JATIMTIMES - Sidang kasus dugaan pemerasan yang melibatkan oknum wartawan dan aktivis LSM perlindungan anak terhadap pengasuh salah satu pondok pesantren di Kota Batu, berlanjut, Senin (13/10). Digelar di Pengadilan Negeri (PN) Malang, dilakukan pembacaan pleidoi atau nota pembelaan dari para terdakwa dan tim kuasa hukumnya.
Sidang yang berlangsung di Ruang Cakra PN Malang itu berjalan penuh emosi. Salah satu terdakwa, YLA, yang berprofesi sebagai wartawan, menangis tersedu-sedu saat membacakan pleidoi pribadinya.
Baca Juga : Mutasi ASN Pemkot Blitar, Sekda: Semua Sudah Melalui Mekanisme Baperjakat dan Persetujuan BKN
“Saya teramat menyesal dengan kejadian ini. Semoga istri dan anak-anak saya kuat menghadapi cobaan,” ucap YLA, Senin (13/10), di PN Malang.
Dalam pembelaannya, YLA mengaku tidak menyangka akan dilaporkan oleh pengasuh, ponpes, atas tuduhan pemerasan. Ia menyebut, justru sang kiai pengasuh yang meminta dirinya melakukan take down berita kasus pencabulan di pondok tersebut dengan kesepakatan biaya sebesar Rp25 juta.
"Permintaan take down berita itu datang dari kiai. Kami sudah sepakat dengan biaya Rp25 juta, tapi tiba-tiba saya malah dilaporkan dengan pidana pemerasan. Padahal semua sudah disepakati, termasuk pemberian uang Rp340 juta," ungkapnya.
YLA juga meminta agar FAA, selaku pengacara korban pencabulan, turut dijadikan terdakwa karena dianggap memiliki peran penting dalam perkara ini. “Saya mohon agar pengacara FAA juga ditetapkan sebagai terdakwa karena memiliki peran sentral dalam perkara ini,” tambahnya.
Sementara itu, terdakwa lainnya, FDY, yang diketahui menjabat sebagai ketua P2TPA dan aktivis Komnas Perlindungan Anak, memulai pleidoinya dengan permintaan maaf. Ia mengaku niat baiknya membantu menyelesaikan persoalan yang melibatkan Kiai Munir justru berujung pada pelaporan dirinya.
“Sejak Desember 2024, Kiai Munir datang ke rumah saya lima kali, meminta bantuan agar kasus pencabulan di Pondok Hadramaut bisa diselesaikan,” ungkap FDY kepada majelis hakim.
FDY mengungkapkan, dirinya telah menolak permintaan tersebut karena kasus pencabulan tidak bisa dihentikan. Namun, Kiai Munir tetap memaksa dan memberikan uang Rp7 juta serta menjanjikan tambahan uang apabila kasus berhasil diselesaikan.
“Saya dipaksa menerima uang Rp7 juta dan dijanjikan tambahan jika kasus selesai. Tapi akhirnya saya malah dilaporkan atas dugaan pemerasan,” ujarnya.
Baca Juga : Profil KH Anwar Manshur, Pengasuh Ponpes Lirboyo yang Disorot usai Disebut Trans7
Tim kuasa hukum para terdakwa yang terdiri dari Kayat Hariyanto, Kriswanto, Bahrul Ulum, dan Kresna Hari Murti, menegaskan bahwa perkara ini seharusnya masuk ranah perdata, bukan pidana.
“Sesuai fakta persidangan, pelapor yakni Kiai Munir sejak awal memberi uang Rp7 juta kepada FDY, meminta YLA untuk menurunkan berita, dan juga menyepakati pembayaran untuk pengacara FAA serta pemberian uang Rp340 juta kepada korban. Maka perkara ini lebih tepat dikategorikan sebagai perdata,” kata Kayat Hariyanto.
Dalam pleidoi setebal 55 halaman itu, tim kuasa hukum meminta majelis hakim untuk membebaskan para terdakwa atau setidak-tidaknya melepaskan dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle rechtsvervolging). “Perkara ini berawal dari kesepakatan semua pihak. Karena itu kami mohon majelis hakim membebaskan terdakwa,” tegas Kayat.
Kasi Intelijen Kejari Batu Januar Ferdian menyampaikan, sebelumnya jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Batu telah membacakan tuntutan pada sidang tanggal 6 Oktober 2025.
Dalam tuntutannya, JPU menyatakan para terdakwa terbukti melanggar Pasal 378 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang tindak pidana penipuan. "Terdakwa dituntut pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan. Sidang akan dilanjutkan kembali pada Senin depan (20/10/2025), dengan agenda pembacaan tanggapan dari JPU," kata Januar.